29 April 2008

Akhirnya Datang Juga

KALAU saat ini Anda merasakan cekikan harga yang terus melambung, Anda tidak sendiri. Warga Ekuador harus merogoh kantongnya lebih dalam untuk membeli beras, sementara warga Perancis pun pusing karena harga gourmet juga naik. Pendeknya, nyaris tidak ada penduduk di dunia ini yang tidak merasakan badai kenaikan harga.

Perubahan iklim dituding jadi biang keladinya. Tetapi, perubahan drastis dalam perekonomian dunia, termasuk kenaikan harga minyak, merosotnya cadangan pangan, serta meroketnya konsumsi di China dan India, juga harus dipersalahkan.

Namun, negara-negara paling miskin tetap menderita paling parah. Ancaman kelaparan tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mencaplok negara-negara itu. Krisis roti di Mesir beberapa waktu lalu sudah menewaskan dua orang karena berebut makanan berbahan dasar gandum itu. Peristiwa yang lebih kurang sama terjadi di Burkina Faso dan Kamerun, awal Maret lalu.

Akan tetapi, perlu diingat bahwa orang-orang Italia juga sudah memprotes kenaikan harga pangan. Di Haiti harga seporsi spaghetti sudah naik dua kali lipat, begitu juga dengan miso di Jepang yang kenaikannya mulai mengkhawatirkan.

"Tidak mungkin harga kembali seperti semula, serendah yang bisa kita temui," kata Abdolreza Abbassian, ekonom yang juga sekretaris Intergovernmental Group for Grain untuk FAO, Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, kepada wartawan beberapa waktu lalu.

"Kalau saat ini Anda di Haiti, kecuali pemerintah menyubsidi, masyarakat di sana tidak punya pilihan lain selain mengurangi konsumsi. Itu skenario yang benar-benar brutal. Tapi itulah yang terjadi," kata Abbassian.

Tidak ada yang lebih tahu ketimbang Eugene Thermilon (30). Buruh harian ini tidak bisa lagi mendapatkan pasta untuk memberi makan istri dan empat anaknya sejak harga pasta berlipat dua, yakni setara 57 sen dollar sekantung. Kini mereka hanya makan dua kaleng jagung.

"Mereka tidak pernah bisa kenyang," kata Thermilon sambil menuju rumahnya yang kumuh di ibu kota Haiti. Untuk esok hari, laki-laki ini belum punya apa-apa untuk mengganjal perut keluarganya.

Kelaparan di keluarga Thermilon punya efek berantai, menular ke keluarga lain. Pemilik toko makanan, Fabiola Duran Estime (31), kehilangan banyak pelanggan, seperti Thermilon. Anak perempuannya yang baru duduk di TK pun harus DO (drop out) karena Fabiola tidak bisa membayar uang sekolah 20 dollar per bulan. Kasihan, padahal Fyva, bocah itu, baru saja bisa membaca.

Harga diperkirakan bakal lebih stabil, tetapi itu dalam jangka panjang. Petani akan menanam lebih banyak padi-padian, baik untuk makanan dan bahan bakar, hingga harga turun. Ini sudah terjadi dengan gandum yang makin banyak ditanam di AS, Kanada, dan Eropa tahun depan.

Meski begitu, bukan berarti kesengsaraan cepat berlalu. FAO memprediksi masyarakat masih akan menghadapi harga pangan yang tinggi hingga 10 tahun mendatang.

Kenaikan harga minyaklah yang kembali menjadi sasaran tudingan. Naiknya harga minyak selalu membawa efek berantai, harga pupuk sampai biaya produksi makanan pun ikut naik. Meningkatnya kebutuhan akan daging dan dairy di negara yang cepat pertumbuhannya seperti China dan India memaksa harga padi-padian naik, untuk memberi makan ternak, begitu juga dengan kebutuhan untuk memproduksi biofuel.

Yang perlu dicermati dalam krisis ini adalah kenaikan harga itu dirasakan di seluruh dunia, termasuk negara maju. Di AS, harga pangan naik 4 persen tahun lalu, tertinggi sejak 1990. Departemen Pertanian AS memperkirakan harga masih akan naik selama 2008.

Sampai Desember 2007, 37 negara sudah menghadapi krisis pangan, bahkan 20 negara di antaranya sudah menjalankan kebijakan kontrol pangan. Tentu saja, bagi banyak orang ini merupakan bencana. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB menyatakan, lembaga itu menghadapi kekurangan 500 juta dollar tahun ini untuk menyediakan makanan bagi 89 juta manusia yang membutuhkan.

Di Mesir, harga roti naik 35 persen dan minyak goreng naik 26 persen. Pemerintah pun mengajukan program penghapusan subsidi dan menggantinya dengan pemberian uang tunai bagi keluarga yang membutuhkan. Namun rencana ini mengundang protes masyarakat dan akhirnya ditangguhkan.

“Sebuah revolusi orang lapar sedang menunggu,” kata Mohammed el-Askalani dari Rakyat Anti-Hidup Biaya Tinggi, kelompok lobi yang dibentuk untuk menentang pemangkasan subsidi.

Itu cerita di Mesir. Di China lain lagi. Kenaikan harga bisa berarti beban sekaligus berkah. Begitu tingkat konsumsi daging meningkat 150 persen sejak 1980, Zhou Jian sejak enam bulan lalu berhenti menjual suku cadang mobil dan beralih menjual daging babi. Harga daging babi melonjak 58 persen dibanding beberapa tahun sebelumnya. Namun, antrean panjang ibu-ibu rumah tangga di toko-toko daging masih saja terlihat.

Pemuda 26 tahun itu pun menjadi lebih kaya sebab kini ia mengantongi 4.200 dollar per bulan, dua sampai tiga kali lipat penghasilannya ketika masih berdagang onderdil mobil.

Bahkan, sekarang bukan cuma daging babi, tetapi juga daging sapi pun mulai menjadi santapan untuk menyenangkan lidah meski bukan untuk konsumsi harian. “Kelas menengah China mulai mengubah pandangan tradisional tentang daging sapi sebagai sebuah kemewahan,” kata Kevin Timberlake, pengelola Western Cattle Company, perusahaan pengolahan daging AS yang beroperasi di Mongolia Dalam.

Pada saat yang sama, lonjakan harga makanan telah mengancam stabilitas ketersediaan pangan di negara dengan satu miliar penduduk itu. "Beijing mulai menggelontor pasar dengan beras cadangan untuk menjaga agar harga beras tetap terjangkau," kata Jing Ulrich, kepala cabang JP Morgan di China.

“Tetapi, ini bukan solusi yang menyelesaikan akar persoalan. Akar persoalannya adalah ketidakseimbangan persediaan dan permintaan. Permintaan begitu banyak, sedangkan stok tidak bertambah. Sesederhana itu,” kata Ulrich.

Bagi PM China Wen Jiabao, menghambat laju inflasi akibat kelangkaan pangan merupakan prioritas ekonomi. Pada Januari 2008, inflasi mencapai 7,1 persen dan itu akibat harga pangan yang melonjak hingga 18,2 persen.

Kelangkaan pangan yang berbuntut kenaikan harga juga disebabkan kebutuhan mencari energi alternatif sebagai pengganti minyak yang harganya juga tidak berhenti naik. Biofuel yang dilirik menjadi alternatif itu. Tetapi, ini sulit karena sumbernya juga bahan makanan seperti jagung, gula, dan kedelai.

Di Jepang, peningkatan produksi etanol mengancam keberadaan mayones dan miso (pasta kedelai), unsur kuliner penting di negara itu. Satu botol mayones seberat 1 kg naik 10 persen menjadi hampir 330 yen dalam dua bulan,” kata Daishi Inoue, koki di sebuah restoran China di Tokyo. “Memang untuk saat ini kenaikan itu belum memberatkan. Tapi kalau harga terus naik kami tidak punya pilihan lain, kami harus menaikkan harga juga,” ujar Inoue.

No comments: